Selasa, 13 Juni 2017

Dian Hehanussa senang dengan model kebarat-baratan

Dian Hehanussa senang dengan model kebarat-baratan



Dian Christina Hehanussa (Dee) boleh jadi produser film termuda di Indonesia. Debutnya Mengejar Matahari akan disusul Tentang Dia. Dari kecil dia memang ingin terjun ke film.  

Dari kecil memang Dian Christina Hehanussa  ingin main film entertainment. Kemudian dari model, perempuan kelahiran Ujung Pandang 28 Agustus 1983  ini  ingin menjadi pramugari, bahkan ingin menjadi pembalap. Namun sang ayah memperingatkan kalau mau jadi pembalap mau cepat mati. Begitu juga kalau mau jadi pramugari sang ayah menentang. Namun perempuan yang dikenal sebagai Dian Hehanusa ini keras kepala dan bilang kapanpun orang bisa mati. 

Namun berkat kekerasan kepala inilah pemilik tinggi 170 cm dan berat 53 kg mau menjadi produser film Mengejar Matahari yang disutradarai oleh Rudi Soedjarwo.  Film itu cukup mendapat sambutan penonton.  Kemudian  dia memproduseri film Rudi berikutnya Tentang Dia. Usianya yang cukup muda untuk menjadi produser film. "Saya dekat dan sangat dekat dengan Rudy," kata warga Gading Griya Lestari ini.

Dee, demikian nama panggilannya mengaku suka model baju yang kebarat-baratan, karena badannya lebih  cocok ke sana daripada memakai baju yang model Hongkong. Untuk merek Dee suka Mark n Spencer walau tidak selalu memakai baju merek itu. "Kalau parfum saya suka ganti-ganti. Misalnya kalau baju yang simple saya juga pakai parfum yang simple. Kalau ke pesta nggak mungkin dong saya pakai parfum yang light yang anak muda banget," katanya. Dia juga mengaku punya hobi mengoleksi botol minuman seperti Jack Daniel, Black Label, Barndy dan Vodka. 


Saya Lebih Fokus di Film 
Suatu hari saya bertemu Rudi Soedjarwo. Dalam obrolan Rudi bilang punya cerita yang stuck dan saya tertarik karena cerita itu bagus. Lalu saya  mengembangkan cerita itu. Lalu dia bilang kepada saya:"Kamu ngomong panjang lebar tentang cerita itu, tetapi tidak berani memproduseri film ini. " Lalu saya menjawab: "Siapa takut? Ini juga suatu pengalaman buat saya." Dari situlah awal film Mengejar Matahari. 

Untuk film saya pernah membintangi Novel Tanpa Huruf R yang disutradarai Aria Kusumadewa. Sementara untuk sinetron saya pernah berperan dalam Sangkuriang, Setelah Puteri Pergi bersama Sophan Sophian. Namun saya memang lebih tertarik pada film.  Kalau sinetron kan industri sekali, seorang produser cepat sekali merekrut pemain, memproduksi sinetron langsung jadi. 

Kalau film kita harus teliti semua proses mulai dari pre production, bikin naskah, pilih pemain. Untuk pengembangan skenario saja butuh satu tahun.  saya tertarik pada film lebih into it, lebih fokus ke satu cerita. Kalau sinetron pagi saya bisa syuting di tempat A Siang  di tempat B, jadi tidak fokus.  Kini saya memproduseri film Tentang Dia yang akan diputar di bioskop Februari 2005 ini. Tahun ini juga saya mau ambil sekolah film di sinematografi di Amerika.


Keluarga Gado-gado
Saya tinggal di Kelapa Gading sejak duduk di bangku kelas satu SD. Kami sekeluarga sudah dua kali pindah. Pertama tinggal di Pelepah Indah setelah pindah dari Ujung Pandang.  Dari Pelepah pindah ke Kelapa Nias dan kini di Griya Lestari. Namun untuk aktif di kegiatan lingkungan lebih banyak papa dan mama. Doa di lingkungan gereja saya ikut kalau kebetulan rumah saya ketempatan giliran.  Kadang-kadang saya supiri anak-anak sekolah minggu ke gereja. 

Ayah saya,  Jeffrey Hehanusa  bekerja di perusahaan Australia yang bergerak di alat-alat berat. Ayah punya darah Ambon, Aceh, sekaligus Belanda. Sementara Ibu saya, Susanna Elizabeth bekerja di Bank mandiri. Ibu keturunan Cina-Belanda.Kalau liburan  saya bersama keluarga kadang ke luar kota. Kami pernah keliling Eropa waktu saya SMP,  ke Bali pernah konvoi satu keluarga, yang pasti ke Makassar untuk pulang kampung. 

Kalau tempat nongkrong favorit di mal (MKG), tentu saja, memang mau di mana? Kalau di mal saya bisa mencar-mencar, di Gading Food City ada tempat favorit Sari 21, masakan Ujung Pandang di luar mal saya ada restoran favorit Pangsit Makassar dan Baji Pamai, untuk minum kopi saya suka Starbucks. Saya suka kopinya karena rasanya beda.


Saya Takut Hitam
Saya kini kuliah di Jurusan Psikologi Unika Atmajaya karena saya pilih sendiri. Papa menganjurkan kuliah di kedokteran tetapi mama menyarankan kuliah di Fakultas Ekonomi. Saya tidak pilih dua-duanya.  Waktu kelas dua SMA, Papa maunya saya masuk IPA tetapi saya mau IPS dan agak berantem.  Kalau di psikologi kita bisa berdebat dan semua jawaban benar. Sebab semua jawaban benar tidak ada yang absolut. 

Saya sedang cuti dari semester 4 sampai semester 5 sambil kuliah syuting sinetron. Dulu sempat gabung di UKM swim, dive dan main bola voli. Untuk kegiatan renang pernah ikut, tetapi untuk diving belum pernah karena saya takut kulit saya hitam.  Soalnya kalau hitam, main sinetron saya tidak kontinyu. 

Saya   tidak suka nongkrong dan sekali ikut banyak teman komplain karena waktu habis untuk sinetron dan untuk pacaran. Kadang saya protes kok enggak diajak ke suatu acara. Lalu teman-teman saya bilang: "Kayak ada waktu saja!" Saya cuma bisa tertawa.



Kamis, 08 Juni 2017

Soegiandi Owner & Managing Director Amazone

Soegiandi Owner & Managing Director Amazone


Film silat, bagi sebagian orang hanyalah tontonan biasa. Tontonan yang menghibur. Tapi tidak, bagi pemilik Amazone, Soegiandi (36). Bagi bapak 2 anak ini, film silat memiliki filosofi tersendiri. Filosofi itulah yang diterapkan dalam manajemen bisnisnya hingga kini. “Banyak strategi dan filsafat yang dapat diambil dari ilmu silat. Bagaimana dahulu orang-orang membuat suatu kerajaan, itu membutuhkan strategi dan manajemen yang mumpuni,” ujar penonton setia film silat ini.

Bagi pemilik bisnis arena permainan anak-anak, dalam berbisnis, tidak mengenal istilah trial dan error. Menurutnya, memahami inti bisnis yang baik sebelum memulai suatu usaha merupakan hal dasar. “Harus dimiliki seorang entrepreneur pemula,” katanya.

Caranya, “banyak belajar, bertanya, dan memperhatikan orang lain. Selain itu jangan terlalu percaya kepada data tertulis, coba langsung lihat di lapangan, simulasikan bisnis apa yang akan dijalani. Sehingga akan didapat data yang tepat dari sisi angka-angka dan kehidupan nyata,” jelas jebolan  S2 Manajemen Internasional dari Prasetiya Mulya Business School ini.

Amazone, yang dirintis Soegiandi sejak tahun 2001, kini menuai sukses. Totalnya berjumlah 60 outlet. Tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Awalnya, kata pria kelahiran 12 maret ini, bisnisnya mengalami banyak kesulitan. Sebabnya, masyarakat lebih mengapresiasi label impor ketimbang lokal (amazone). “Selain itu kita tidak didukung grup usaha alias berdiri sendiri dan tidak menempel dengan mall atau departemen store. Butuh perjuangan untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak mall,” ujarnya kepada Info PluitKapuk.


Outlet pertama dan kedua, ia dirikan di Medan dan Lampung. Outlet Amazone di Pluit Junction merupakan outlet-nya ke-58. Ditanya soal kunci keberhasilan, warga Kelapa Gading ini menjawab sederhana: kepercayaan. “Kepercayaan dari orang lain kepada kita dan keperayaan yang dimiliki diri sendiri untuk memulai suatu bisnis,” ucapnya.

Rabu, 07 Juni 2017

Sensasi Makan ala Zaman Batu

Sensasi Makan ala Zaman Batu

Zaman batu telah berlalu. Namun untuk mengetahui sensasi cara masak dan makannya datang saja ke Stonegrill.

Stonegrill satu-satunya di Indonesia dan yang pertama di Jakarta. Restoran franshise dari Australia ini memiliki tiga cabang, Mega Kuningan, Arteri Pondok Indah, dan Pluit Junction. Semua makanan Stonegrill terkenal sehat dan bergizi tinggi. Pasalnya, tanpa minyak, terjaga kualitas bahan bakunya, dan disajikan dalam kondisi fresh.

Harga yang ditawarkan mulai dari Rp. 65 ribu hingga Rp. 380 ribu. Untuk Australian Rump Steak dibanderol seharga Rp. 95 ribu, dan Australian Rib-Eye Steak seharga Rp. 99 ribu. “Semakin mahal makin enak dan kualitasnya paling baik,” ujar Irfiani Dwi Satya, Supervisor Stonegrill.

Takut kolesterol? Hmm, yang benar saja, di resto ini tersedia pilihan daging dengan kolesterol rendah. Semuanya disediakan sesuai pilihan, termasuk ditimbang kadar kolesterolnya. Bagi yang suka jamur, rasakan sensasinya. Cara  masaknya juga sama, di atas batu panas yang telah di oven selama 8 jam.

Bagi yang tak suka daging, tak perlu kuatir. Stonegrill cukup bijak dengan menyediakan pilihan menu seafood. Untuk menu seafood yang menjadi favorit, kata Irfiani, adalah ikan dori. Ikan ini diimpor langsung dari Jepang. Walaupun sama-sama dimasak di atas batu panas, cara masaknya agak beda. Sebisa mungkin, kata Irfiani lagi, jangan dibolak-balik hingga matang. Pastinya, server yang ada selalu menuntun anda dengan ramah. Wow, ada kerang hijau juga. Ya, tapi kerang hijau yang dihadirkan di sini khusus didatangkan dari New Zealand.

Untuk appetizer, tersedia 9 menu. Sebut saja Portobello au Gratin, A Stonegrill Indonesia’s Original. Sedangkan untuk dessert, Stonegrill menyediakan 7 pilihan menu. Andapun dapat memilih Brownis ala Mode, Homemade Tiramisu, atau Hot Wild Berries on Vanilla Iced Cream. Jangan lupa, cicipi beragam menu Soup, Salad, dan Pasta. Pasti ketagihan.

Suasana makan makin tergugah jika ditemani minuman yang mendukung. Menu beverage yang disediakan mulai dari softdrink, juice, juga milk-sakhe. Bahkan wine, yang disediakan khusus bagi penggemar wine. “Makan daging atau seafood memang paling enak sambil minum wine,” celetuk Joni yang menemani Info PluitKapuk bertandang ke Stonegrill. Untuk jus, “jus paling fresh dan paling banyak diminati adalah jus stroberi,” jelas gadis imut yang biasa disapa Fifi ini. 

Senin, 05 Juni 2017

Ahmad Sholeh Dimyathi Kepala Sekolah SMK Negeri 56 Jakarta

Ahmad Sholeh Dimyathi Kepala Sekolah SMK Negeri 56 Jakarta


Sosok pria paruh baya ini patut ditiru. Haji Ahmad Sholeh Dimyathi selalu berupaya meningkatakan potensi anak-anak didiknya dengan hal-hal baru. Ya, kelahiran Pati, 17 Oktober 1954 ini selalu membuat gebrakan di sekolah yang dipimpinnya, SMK Negeri 56 Pluit, Jakarta. Prinsip hidupnya sederhana. Yakni, “menjadi bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah,” pungkasnya.

Gebrakan yang dibuat, misalnya membuka program praktek kerja industri bagi siswa binaannya di SMK Negeri 56 Jakarta. Sebelum mengepalai SMK Negeri 56 Jakarta, ia menjadi Kepala Sekolah SMK 20 Fatmawati. Pada masa itu, bapak 3 orang anak ini mengembangkan sekolah dengan membuka program baru, Perbankan Syari’ah.

Lulusan Pasca Sarjana SDM dari STIM-LPMI Jakarta ini gemar mengikuti sejumlah pelatihan-pelatihan. Kursus Pertamanan dan Perencanaan Konstruksi di ATPU Akademi Teknik Pekerjaan Umum Bandung, membuka jiwanya untuk mengawali perjalanan karirnya sebagai tenaga pendidik.

Pada tahun 1998, pria yang senantiasa fun, fresh, dan focus ini mengikuti program Seleksi Kepala Sekolah, juga pendidikan Calon Kepala Sekolah di Malang. Ia pun berhasil meraih peringkat I sebagai peserta terbaik. Sejak itu ia dipercaya mengemban tugas sebagai kepala sekolah. Salah satunya di SMK Negeri 56 Jakarta yang diemban hingga kini. @ beatrice


Yang Huang Lim Guru Shufa (Seni Kaligrafi Tiongkok)

Yang Huang Lim Guru Shufa (Seni Kaligrafi Tiongkok)


Sekolah Sutomo, Medan, Yang Huang Lim terpikat seni kaligrafi Tiongkok (shufa) sejak kanak-kanak, yakni ketika di Sekolah Sutomo, Medan. Di sekolah itu pula Huang Lim, begitu ia akrab di sapa, mempelajari bahasa mandarin. “Saya mencintai kaligrafi ini sejak kecil karena waktu nulis, hati dan pikiran kita bisa tenang dan fokus pada tulisan kita,” ujar pria kelahiran 4 April 1940. “Apalagi menulis shufa bisa membuat tubuh sehat dan panjang umur.” 

Sekitar tahun 1970-an, Huang Lim mencoba peruntungan ke Jakarta. Ia pun menjalankan usaha antar jemput anak sekolah. Setelah pensiun, barulah di tahun 2003 kakek 3 cucu ini kembali bersua dengan shufa. “Saya kembali mendapat kesempatan untuk memperdalam shufa di Perkasi dan belajar di sana selama hingga tahun 2006,” ujar Huang Lim.

Setelah cukup mahir menulis shufa, di tahun 2007, seniman shufa yang ahli di gaya penulisan kaishu ini bergabung dengan Yayi Culture and Art Centre dan mendapat kesempatan menjadi guru shufa sekaligus salah satu pengurus Yayi. Beragam prestasi pernah didapatkan, seperti penghargaan kategori Baik atau juara 4 di kejuaraan kaligrafi Shanghai Phang Shu tahun 2007 dan 2008 yang diikuti dari 6000 lebih peserta setiap tahunnya.

Huang Lim juga merasakan suka dan duka selama menjadi guru shufa. “Yang sulit adalah saat mengajar anak kecil karena daya tangkap mereka masih kurang,” ujar Huang Lim. “Apalagi di Indonesia ini yang bisa bahasa mandarin sangat kurang. Kebanyakan usia 50 tahun ke atas yang baru bisa berbahasa mandarin.”

Profesinya sebagai guru shufa di Yayi hanyalah kerja sosial dan tidak mencari keuntungan materi. “Tujuan saya hanya untuk mendorong agar kaligrafi ini bisa berkembang di Indonesia,” ujar Huang Lim. “Jangan sampai putus hanya karena yang suka seni kaligrafi ini hanyalah orang yang sudah berumur.”


Namun Huang Lim tetap bersyukur bahwa sekarang peminat seni shufa di Indonesia sudah mulai banyak, mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang usia lanjut. Menurut Huang Lim, shufa memang tidak memerlukan pendidikan formal seperti sekolah-sekolah. “Kuncinya adalah harus rajin berlatih. Kalau tidak, tidak akan jadi ahli shufa,” ujar pria yang mengaku sejak tahun 2003 terbiasa menulis shufa setiap hari. @ julia